Bagaimana Seorang Muslim Menyikapi Perayaan Hari Agama Umat Lain

Toleransi bukan saling mengikuti dan memberi selamat perayaan agama lain. Toleransi adalah tidak mengganggu keyakinan agama lain.

Oleh Ustd. Habiburrahmanuddin

Bismillahirahmanirahim
Alhamdulillah mari kita bersyukur kepada ALLAH yang telah menjadikan Islam sebagai agama dan syariat yang mengatur kehidupan kita dalam meniti langkah kehidupan.

Shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, Rasulullah yang telah mencontohkan kepada kita semua bagaimana menjalankan aturan ALLAH dengan sebaik-baiknya karena kita mendapat model dan contoh dari manusia yang mulia.

Seorang muslim yang sejak lahir ataupun yang memeluk Islam setelah dewasa, maka ia berikrar dengan dua kalimat syahadat. Maka sejak saat itu ia disebut muslim. Muslim adalah orang yang tunduk, khuduk, patuh dan taat kepada ALLAH yaitu penyerahan total kepada ALLAH dan terhadap aturan-aturan ALLAH.

Seorang muslim yang ber-aqidah Islam (aqidah = ikatan), maka ia tidak hanya mengakui ALLAH sebagai illah yang disembah dan rob yang mengatur alam tetapi juga mengakui ALLAH yang membuat aturan-aturan bagi manusia. Orang yang ber-aqidah Islam, ia tidak bebas melainkan terikat pada aturan-aturan ALLAH terutama yang bekaitan dengan aqidah.

Pada kesempatan ini mari kita membincangkan bagaimana seorang mukmin menyikapi perayaan umat lain yang merayakan hari besar agamanya dan tahun baru.

Dalam satu riwayat, Rasulullah pada suatu hari didatangi oleh utusan orang-orang Makkah yang diantara mereka itu adalah al-Walid bin al-Mughirah, Aswad bin Muthalib dan Umyyah bin Khalaf. Mereka menawarkan titik temu persamaan agama antara Islam dengan agama orang-orang kafir pada saat itu. Mereka menawarkan untuk memeluk dan menjalankan agama Islam pada masa satu tahun dan pada tahun berikutnya berharap Rasulullah dan pengikutnya untuk menjalankan agama mereka menyembah berhala.

Mereka mengatakan hal ini merupakan kerjasama yang saling menguntungkan sehingga siapapun yang benar antara agama yang dibawa Rasulullah atau agama mereka maka tidak ada yang dirugikan. Mereka berpendapat jika Islam yang benar mereka tidak rugi karena telah pernah menjalankan agama Islam dan demikian juga sebaliknya.

Tetapi tawaran itu serta merta ditolak dan dijawab oleh Rasulullah diawali dengan kalimat “aku berlindung dari orang-orang yang menyekutukan ALLAH”. Rasulullah tidak berstrategi ataupun berpolitik untuk tawaran ini. Padahal posisi umat Islam pada saat itu dalam keadaan terjepit, diboikot bertahun-tahun, disiksa dan dibantai oleh orang-orang kafir. Seandainya Rasulullah berpolitik maka barangkali tidak mengapalah menerima tawaran yang demikian siapa tahu berhasil menda’wahi orang-orang kafir itu sehingga tahun berikutnya tidak harus menjalankan agama mereka. Tetapi Rasulullah tidak menerimanya karena Allah menurunkan wahyu saat itu juga yaitu Al-Quran QS 109 :1-6 al-Kafirun (orang-orang kafir). Surat ini disebut juga dengan nama surat al-Muqossidah (penyembuh). Disebut penyembuh karena menyembuhkan penyakit syirik sekecil apapun.

Surat ini diawali dengan kalimat “Qul”. Di dalam al-Quran kalimat “Qul” terulang sebanyak 332 kali. Qul itu khittahnya kepada Rasulullah Muhammad SAW namun tetap dicantumkan secara utuh dalam al-Quran. Maknanya adalah, pertama ini adalah bukti bahwa Al-Quran itu asli tanpa pengurangan satu hurufpun. Al-Quran itu bukan buatan Rasulullah melainkan dari ALLAH SWT dan Rasulullah tidak menguranginya satu hurufpun.

Kedua, menurut ahli mufasir fungsi kalimat “Qul” adalah untuk menjelaskan dengan sejelas-jelasnya dan menolak dengan setegas-tegasnya terhadap persepsi keliru yang salah difahami oleh sebagian orang terhadap ajaran Islam terutama yang berkaitan dengan aqidah.

Dalam kaitan bahasan kali ini, masih ada orang yang beranggapan sekedar mengucapkan selamat terhadap perayaan umat lain tidak mengapa. Padahal sudah jelas dalam surat al-Kafirun ayat pertama disebutkan “Qul (katakan ya Muhammad) wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah”.

Surat AlKafiruun

Ayat ke 2 dan 4 pada dasarnya sama tetapi redaksinya berbeda. Ayat ke 4 dikatakan “aku bukanlah penyembah apa yang engkau sembah”.

Ayat ke 3 dan 5 sama persis dan ini bukan mubazir kata tetapi sebagai li-ta’qid (penegasan) sekaligus menunjukkan konsistensi jawaban Rasulullah atas tawaran orang-orang kafir.

Jika dipahami dalam bahasa arab, maka jelas sekali perbedaan pada pengulangan ayat tersebut. Pada ayat ke-2 disebutkan Laa a’budu maa ta’budun. Kalimat yang digunakan untuk menyangkal persepsi keliru orang kafir itu adalah fi’il mudhorik yang berarti kata kerja dalam bentuk sekarang , masa akan datang dan seterusnya.

Maka terjemahan dari ayat ke-dua adalah “aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah hari ini, dan apa yang akan kalian sembah nanti dan terus menerus yang kalian sembah tidak akan aku sembah”.

Sedangkan makna ayat ke-4 walaa ana aa’bidumma abattum menggunakan kata aa’bid yaitu isim fa’il yang fungsinya untuk menunjukkan dawam artinya terus menerus, selamanya tetap begitu. “Aku selamanya bukanlah penyembah apa yang kalian sembah”. Lalu kalimat maa’abattum menggunakan fi’il madhi untuk menunjukkan masa lampau. Jadi arti ayat ke-4 jika dirincikan adalah “aku bukanlah penyembah apa yang dulu pernah kalian sembah”.

Ayat 3 dan 5 yang sama persis menurut ahli mufasir perbedaannya ada pada lafaz maa. Pada ayat ke-3 lafaz maa dari kalimat maa a’bud artinya apa saja yang kalian sembah. Sedangkan lafaz maa pada maa a’bud ayat ke-5 adalah kata jadian yang artinya cara aku menyembah. Jadi artinya “kalian tidak akan pernah ikut cara ku menyembah”.

Maka dengan ini sulit untuk mencari celah persamaan antar agama. Karena semua telah ditutup dengan menyebutkan waktunya, apa yang sembah dan cara menyembahnya. Kemudian surat ini ditutup dengan Lakum diinukum waliyadin. “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Kalimat ini sesungguhnya menyalahi kaidah bahasa karena kata kerja didahulukan sedangkan subjek diakhirkan. Namun hal ini menunjukkan kekhususan /sensitifitas yang bila di sentuh maka akan melanggar.

Sekaligus ini menunjukkan sebuah pernyataan yang jujur bahwa umat Islam mengakui adanya agama diluar Islam tetapi bukan berarti mengakui kebenarannya. Umat Islam tidak akan mengganggu orang-orang non-muslim yang merayakan hari besar agamanya. Sebab jika menggangu atau menyakiti umat lain maka seorang muslim akan melanggar ayat ini. Tetapi ingat lanjutannya adalah waliyadin yang ini juga sensitif, yang maknanya adalah kami juga memiliki identitas dan eksistensi agama Islam sehingga umat lain juga tidak boleh mengajak-ajak untuk mengikuti mereka.

Maka bagi kita umat Islam yang mengikuti perayaan agama non muslim sekalipun hanya dengan mengucapkan selamat saja maka itu juga melanggar ketentuan ALLAH. Maka sikap yang paling baik adalah jangan pernah menggangu mereka dalam perayaan ibadah mereka sekecil apapun dan sekaligus jangan pernah tersentuh sekecil apapun untuk mengikutinya.

Maka inilah yang dimaksud dengan kalimat “Qul” katakanlah dan jelaskanlah kepada mereka tentang aqidah ini. Pada hakikatnya aqidah beridah itu tidak bisa menurut akal manusia apalagi jika ingin berstrategi hanya untuk meraih simpati orang-orang non muslim.

Demikianlah sikap yang semestinya dilakukan oleh umat Islam tekait perkara aqidah dan ibadah dalam menyikapi hari perayaan agama umat lain.

Wallahualam bi shawab.

SUMBER

Ibu dan Kualitas Generasi Muda

Kesadaran akan pentingnya tugas-tugas ibu yang tak tergantikan oleh siapapun ini, bahkan sudah menjadi trend di negara maju sejak lama. Di Amerika (yang sering menjadi barometer penggiat Feminisme), gerakan keluar rumah mulai ditinggalkan oleh kaum perempuan. Mereka berbondong-bondong memutuskan back to family. Berawal dari meluasnya sindrom Cinderella Complex, yakni perasaan akan kegamangan sebagai “public woman”, bermunculanlah organisasi-organisasi yang mendukung kembalinya kaum ibu kepada tugas domestik, sebagai pengatur rumah tangga dan pendidik utama anak-anak.

Mula-mula muncul Moms Offering Mom Support Club yang berdiri sejak 1983. Lalu Yayasan Mothers at Home yang berdiri 1984, Mothers & More tahun 1987 dan masih banyak lagi. Tak heran jika angka statistic partisipasi perempuan dalam karier di ranah public terus menurun (USA Today, 10/05/1991).
Di negeri ini, Majelis Ulama Indonesia pernah mengkampanyekan Gerakan Kembali ke Rumah pada tahun 2004 (Republika, 16/12/04). Sayang, gaungnya ditenggelamkan oleh jargon yang didengungkan oleh para aktivis perempuan. Entah tidak mengapa, adanya titik balik perjuangan kaum Feminis internasional yang terbukti telah gagal mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan tidak dijadikan pelajaran bagi Feminis di tanah air untuk merevisi gerakannya.
Akibatnya, Feminis di tanah air masih juga dengan lantang mengajak kaum ibu untuk berbondong-bondong keluar rumah dan mencari eksistensi diri di ruang publik. Dengan dalih kemandirian, khususnya kemandirian ekonomi, kaum perempuan dipaksa meninggalkan tugas dan kewajibannya sebagai ibu, pengatur rumah tangga sekaligus pendidik anak-anak.
Betapa tidak, kini lebih banyak anak-anak yang dibesarkan di Tempat Penitipan Anak (TPA), play group,kindergarten dan sejenisnya. Anak-anak tumbuh berkat sentuhan baby sitter dengan imbalan rupiah yang menggiurkan, bukan di tangan ibunya dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan serta gratis. Maklum, ibu yang semakin sibuk hanya punya waktu akhir pekan saja untuk memperhatikan buah hatinya. Itupun kalau tidak ada PR dari kantor atau tidak dinas ke luar kota.
Ibu-ibu juga semakin merasa benar dan tenang keluar rumah karena diperkuat oleh apologi yang salah kaprah, seperti “saya bekerja kan juga demi anak” atau “yang penting kan kualitas, bukan kuantitas.”Ah, benarkah anak-anak yang masih kecil-kecil itu mereka tanya dan memang menghendaki ditinggal ibunya? Juga, benarkah kualitas dapat dicapai tanpa memperhatikan kuantitas? Sebuah asumsi yang layak diperdebatkan kebenarannya.

Potret Buram Anak
Terabaikannya peran ibu sebagai pelahir generasi dan pendidik utama anak-anak, telah melahirkan sisi-sisi kelam dunia anak. Memang, terabaikannya peran ibu bukanlah “penyebab” tunggal, karena ada faktor sistemik seperti lingkungan dan negara yang berpengaruh. Namun fakta membuktikan, banyak anak-anak “gagal” lahir dari sebuah rumah tangga dimana tidak ada figur sentral sebagai pendidik.

Ketika kedua orang tua sama-sama sibuk mencari nafkah, ketika seorang ibu mengalihkan tugas pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya kepada pihak lain, lahirlah generasi-generasi bermasalah yang haus akan kasih sayang. Ya, kepribadian anak-anak dewasa ini cenderung labil, semakin tidak cerdas dan bahkan cenderung liar.
Kasus bunuh diri pada anak-anak, bahkan balita adalah contohnya. Selanjutnya anak-anak banyak yang terlibat seks bebas, narkoba, hamil di luar nikah, aborsi, hingga tindak kriminalitas. Bayangkan, di Kediri anak usia 12 tahun membunuh balita berusia 4 tahun. Dari mana inspirasi membunuh itu ia peroleh? Apakah orang tuanya mengajarkan? Tentu tidak.

Semua itu terjadi karena anak-anak kurang mendapatkan pelajaran dari orang tuanya, khususnya ibu. Sementara banyak sekali “pelajaran” yang ia serap dari mana saja, khususnya di luar rumah. Anak yang belum sempurna akalnya itu, sejatinya membutuhkan bimbingan untuk memilih mana yang benar dan mana yang salah. Ironisnya, ”bimbingan” itu mereka serap dari sumber yang salah. Entah dari teman-teman, artis idolanya, majalah, buku atau bahkan televisi.

Kembalikan Fungsi Keluarga dan Ibu
Ketika lahir, seorang anak merupakan makhluk yang tidak berdaya dan amat tergantung pada orang yang terdekat dengan dirinya. Dan, idealnya orang terdekat itu adalah ibunya. Menurut Neuman (1990) usia 20-22 bulan merupakan masa penting hubungan ibu-anak dan pembentukan diri individu, yang disebut Neuman primal relationship. Dalam pandangan ahli social learning maka apa yang dilakukan oleh ibu terhadap anaknya merupakan proses yang diadopsi oleh si anak melalui prosessocial-modelling. Bagaimana cara ibu mengasuh, apakah dengan penuh kelembutan dan kasih sayang atau apakah dengan kasar dan amarah serta penolakan akan membentuk perilaku manusia muda tersebut.

Begitu penting peran keluarga khususnya ibu dalam membentuk karakter anak sejak dini bahkan sejak ia di dalam kandungan. Keluarga memiliki peran yang besar disamping sekolah dalam memberikan pengetahuan tentang nilai baik dan buruk kepada anak-anaknya. Keluarga pulalah wadah dimana anak dapat menerapkan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah, maupun di institusi keagamaan. Mengentaskan anak-anak bermasalah harus dimulai dengan mengembalikan fungsi keluarga sesuai nilai-nilai ajaran moral dan agama.

Fungsi keluarga akan berjalan dengan baik dimulai dari pembenahan kualitas calon pasangan suami istri, calon ayah dan ibu dan suami istri. Mereka hendaklah diberikan pembinaan dan pembekalan memadai supaya paham betul hak dan kewajiban sebagai seorang ayah dan ibu terhadap anak. Disamping memahami tangggung jawab mereka dalam melindungi hak-hak anak-anak mereka. Negara memfasilitasi segala upaya pengembalian fungsi keluarga terutama ibu pada posisinya semula.

Penutup
Bangsa ini sedang mengalami krisis rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM). Semua menyadari itu. Bahkan semua sepakat –termasuk negara— akan pentingnya melahirkan generasi-generasi yang berkualitas, baik dari sisi pendidikan, sain maupun moral. Generasi seperti itu hanya bisa terwujud dengan memberikan ruang yang nyaman bagi kaum ibu untuk mendidik anak-anaknya, khususnya pada usia dini. Sebab pada usia kritis inilah masa depan anak ditentukan. Untuk itu negara harus memberikan support demi keberlangsungan peran dan tugas kaum ibu. Inilah saatnya untuk peduli ibu dan generasi!(*)

*Kholda Naajiyah , Peminat masalah anak-anak, remaja dan wanita, Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia

“bisa jadi ini hari terakhirku di dunia… :)”

“bisa jadi ini hari terakhirku di dunia… :)”

Adakah yang salah dengan rangkaian kata tersebut, teman? Soalnya, pas aku pasang kalimat itu sebagai status YM, buanyak sekali pertanyaan dari temen2ku. “Kamu kenapa, nov?”… “Kamu lagi sedih ya? Kenapa?”…”Kamu sakit parah ta, nov?”…#eeaaa
Hellooo, freenn… Tidakkah kalian merasakan pancaran semangat yang menggebu dari status YM-ku itu? 😀

Dari pertanyaan2 teman2ku itu, alhamdulillah aku mendapatkan 1 kesimpulan. Bahwa kematian masih menjadi hal yang menakutkan dan tabu untuk diangkat dalam pembicaraan. Padahal faktanya, segala sesuatu yang hidup cepat atau lambat pasti mati, bukan? Tinggal nunggu giliran aja. Atau masih ada yang ragu, kalau kita semua nanti bakalan mati? Pernah aku tak sengaja membahas tentang hari kiamat dengan saidariku yang baru saja menikah. Dia bilang gini “Woalah mbak, mbak.. jangan mbahas hari kiamat kenapa, orang baru nikah jugaa..”. Wew. Bukankah kematian adalah sesuatu yang paling dekat dengan kita? Kenapa harus menghindar dari kenyataan itu? batinku.

Allah berfirman :

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Az Zumar : 42)

“Tiap-tiap jiwa (yang bernyawa) akan merasakan kematian.” (Qs. Ali ‘Imrân [3]: 185)

“Katakanlah (wahai Muhammad) bahwa kematian yang kalian lari daripadanya, dia akan menemui kalian…” (Qs. Al-Jumu‘ah [62]: 8.)

Justruuu dengan mengingat mati, hidup kita ini bakalan lebih indah. Demi Allah, frenn..
Coba kalau kita gak pernah memikirkan kematian. Pasti hati ini bakalan capeeek mikirin dan ngejar2 kenikmatan yang bersifat duniawi saja. Dan akhirnya gak enjoy hidupnya. Hidupnya hanya untuk kejar setoran dan kejar setoran. Orang yang melupakan kematian akan cenderung gemar melakukan hal2 yang sia2, suka bermalas-malasan, gemar menghayal, hedonis, serakah dalam kenikmatan dunia, meremehkan dosa, mudah stress, gemar menunda2 pekerjaan, dan yang paling parah, menunda2 untuk bertaubat. Seolah-olah akan hidup selamanya. Naudzubillahi mindzaliik. 😦

Sebaliknya, dengan mengingat mati seseorang akan lebih berhati2 dalam menggunakan waktunya. Karena dia pasti benar2 berpikir sebelum bertindak dan cenderung berusaha untuk melakukan yang terbaik di setiap waktu yang masih dimilikinya. Prioritas amal selalu dipikirkan dahulu sebelum memutuskan bertindak. Apakah amalan itu wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram. Tawakkal pada Allah tidak pernah dilupakan dalam setiap ikhtiarnya yang bersungguh-sungguh. Sehingga hasil apapun yang didapatkan tidak akan membuat dia putus asa dan berprasangka buruk terhadap Allah. Karena meyakini Allah tidak menghisab hasil dari usaha kita, tapi Allah menghisab proses kita dalam mencapai hasil tersebut (halal atau haram?). Dan akhirnya hidupnya akan menyenangkan. Kesedihan di dunia tidak akan membuatnya putus asa dan kebahagiaan di dunia tidak pernah melalaikannya dari Tuhannya. Zuhud.

Terkadang, saking lupanya kita dengan kematian, sangat sedikit sekali persiapan yang sudah dilakukan untuk menyambutnya. Sebaliknya, untuk dunia yang sudah pasti akan kita tinggalkan, kita mencurahkan segenap hati dan jiwa untuk meraihnya. Astaghfirullah… 😦

Rasulullah SAW bersabda: “Perbanyaklah olehmu mengingat-ingat kepada sesuatu yang melenyapkan segala macam kelazatan, yaitu kematian.” (HR. Tirmidzi).

SUATU hari sahabat Umar bin Khattab duduk bersama Rasulullah SAW. Kemudian datanglah seorang sahabat Anshar. Seraya memberi salam ia berkata: “Wahai Rasulullah, mukmin yang seperti apa yang paling utama?”. Beliau menjawab:”Yang paling baik akhlaknya”.
Sahabat itu bertanya lagi: “Mukmin seperti apakah yang paling cerdas?” Beliau menjawab: “Muslim yang paling cerdas adalah yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik mempersiapkan diri untuk sesudah kematian itu, mereka itulah orang-orang yang cerdas”(diriwayatkan oleh Imam al-Qurtubi dalam al-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umuri al-Akhirah).

Rasulullah menyebut orang yang ingat kematian dan mempersiapkannya itu sebagai orang cerdas, sebab orang seperti itu mengetahui hakikat tujuan hidup (yakni beribadah kepada Allah), dan mengindar dari tipuan-tipuan kenikmatan dunia.

Imam al-Qurtubi menyebutnya sebagai standar kecerdasan seorang manusia. Yakni tidak pernah melupakan sesuatu yang pasti dan persiapannya itu untuk hal-hal yang sesungguhnya dipastikan akan terjadi. Wallahu a’lam bi ashshowaab.

Pilihan tetap berada di tangan kita, fren. Apakah kita akan bersegera menyiapkan bekal untuk hari yang sedang mendekat kepada kita. Ataukah akan menundanya. Percayalah, fren.. Bahwa kehidupan yang sebenarnya baru akan dimulai setelah kematian menjemput kita. Semoga Allah membimbing kita semua ke jalan yang lurus. Aamiin…

bisa jadi ini hari terakhirku di dunia… 🙂
maka aku tidak akan menyimpan prasangka buruk pada saudara2ku

bisa jadi ini hari terakhirku di dunia… 🙂
maka aku tidak akan membiarkan perkataan dusta keluar dari lisanku

bisa jadi ini hari terakhirku di dunia… 🙂
maka aku tidak akan membicarakan keburukan saudara2ku

bisa jadi ini hari terakhirku di dunia… 🙂
maka aku tidak akan bekerja dengan malas

bisa jadi ini hari terakhirku di dunia… 🙂
maka aku tidak akan membiarkan mata ini melihat keharaman

bisa jadi ini hari terakhirku di dunia… 🙂
maka aku tidak akan membiarkan kaki ini melangkah ke tempat maksiat

bisa jadi ini hari terakhirku di dunia… 🙂
maka aku akan berusaha yang terbaik demi menolong agama Allah

bisa jadi ini hari terakhirku di dunia… 🙂
maka aku akan mempelajari ilmu Islam dengan giat

bisa jadi ini hari terakhirku di dunia… 🙂
maka aku akan melakukan yang terbaik sebagai hamba Allah

bisa jadi ini tulisan terakhirku… 🙂
semoga ini bisa menjadi salah satu jejakku di bumi Allah yang dapat membawaku lebih dekat dengan ridho-Nya.

Aamiin.